Pajak Internasional

Laman Pajak Internasional ini sebagian besar merupakan copy paste dari ebook Pajak Internasional yang buat oleh Direktorat Peraturan Perpajakan II, Direktorat Jenderal Pajak. Ebook dibuat tahun 2014 dengan editor Ibu Leli Listianawati. Tidak semua materi dicopy. Beberapa bagian yang lebih tepat untuk petugas pajak tidak disajikan disini. Saya menyajikan dalam laman ini supaya saya belajar lagi. Pada beberapa bagian saya modifikasi dengan tetap mengacu pada peraturan yang jadi rujukan di ebook. Semoga bermanfaat, terutama bagi mahasiswa dan wajib pajak yang merasa perlu tahu.


Subjek Pajak Luar Negeri

Yang dimaksud dengan Subjek Pajak Luar Negeri adalah:
  1. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; dan 
  2. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia. 
Subjek Pajak Luar Negeri baik itu orang pribadi ataupun badan memiliki kewajiban pajak subjektif yang dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan sebagaimana melalui Bentuk Usaha Tetap atau pada saat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dan berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha Tetap atau pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Dari pengertian di atas dapat dibedakan dua jenis Wajib Pajak Luar Negeri, yaitu : 
  1. Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, dan 
  2. Wajib Pajak Luar Negeri yang tidak mempunyai Bentuk Usaha Tetap di Indonesia. 
Selain itu, ada juga Wajib Pajak Luar Negeri yang pengenaan pajaknya diatur khusus pada Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan, yaitu Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia.

Subjek Pajak Orang Pribadi dalam negeri yang merupakan Warga Negara Indonesia berubah statusnya menjadi Subjek Pajak luar negeri dalam bekerja di luar negeri lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga hari) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dan dapat menunjukkan salah satu dokumen tanda pengenal resmi yang masih berlaku sebagai penduduk luar negeri yang dapat berupa:

  1. green card;
  2. identitiy card;
  3. student card;
  4. pengesahan alamat di luar negeri pada paspor oleh Kantor Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri;
  5. surat keterangan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia atau Kantor Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri; atau
  6. tertulis resmi di paspor oleh Kantor Imigrasi negara setempat.
Dengan perubahan status tersebut, penghasilan yang diterima sehubungan pekerjaan yang dilakukan di luar Indonesia dan penghasilan lainnya yang bersumber dari luar Indonesia, tidak dikenakan pajak di Indonesia.

Penghasilan Yang Diterima Subjek Pajak Luar Negeri Melalui Bentuk Usaha Tetap Di Indonesia

Yang menjadi objek pajak dari suatu Bentuk Usaha Tetap, yaitu : 
  1. penghasilan dari usaha atau kegiatan dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai Bentuk Usaha Tetap tersebut; 
  2. penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; 
  3. penghasilan sebegaimana tersebut dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara Bentuk Usaha Tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud. 
Bentuk Usaha Tetap merupakan satu kesatuan dengan kantor pusatnya, sehingga pembayaran oleh Bentuk Usaha Tetap kepada kantor pusatnya seperti royalti atas penggunaan harta kantor pusat, merupakan perputaran dana dalam satu perusahaan itu sendiri. 

Oleh karena itu, jika kita mengacu pada ketentuan di atas, pembayaran berupa royalti, imbalan jasa, dan bunga oleh dari Bentuk Usaha Tetap kepada kantor pusatnya tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Pengecualian dari ketentuan ini adalah apabila kantor pusat dan Bentuk Usaha Tetapnya bergerak dalam bidang usaha perbankan, maka pembayaran bunga pinjaman oleh Bentuk Usaha Tetap kepada kantor pusatnya dapat dibebankan sebagai biaya.

Karena Bentuk Usaha Tetap merupakan Subjek Pajak yang diperlakukan sama dengan Subjek Pajak badan, maka biaya yang dapat dikurangkan atau tidak dapat dikurangkan dengan penghasilan yang diterima mengikuti ketentuan yang terdapat pada Pasal 6 dan Pasal 9 Undang-Undang Pajak Penghasilan. 

Perbedaan Bentuk Usaha Tetap dengan perusahaan PMA (penanaman modal asing) :
 Keterangan
 Bentuk Usaha Tetap
 PMA (WPDN Badan)
Status hukum perusahaan
 Tidak berbadan hukum
 Berbadan hukum PT
Penyertaan Modal
 Tidak ada
Setoran pemegang saham
 Objek Pajak
 Pasal 5 ayat (1) UU PPh
 Pasal 4 ayat (1) UU PPh
 Pengurang Penghasilan Bruto
 Pasal 5 ayat (2) dan (3) UU PPh
 Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 UU PPh
 Sisa kerugian tahun-tahun sebelumnya
 Dapat  diperhitungkan
 Dapat  diperhitungkan
Penghasilan Kena Pajak
Pasal 16 ayat (3) UU PPh
Pasal 16 ayat (1) UU PPh
Tarif Pajak
Pasal 17 ayat (1) b UU PPh
Pasal 17 ayat (1) b UU PPh
Penghasilan Kena Pajak dikurang PPh terutang
 Branch Profit yang terutang PPh Pasal 26 ayat (4)
 Tidak ada terminologi khusus, distribution to shareholder (dividend) yang terutang PPh Pasal 23/26



Penghasilan Yang Diterima Subjek Pajak Luar Negeri Selain Bentuk Usaha Tetap Di Indonesia

Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur tentang pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang berada di Indonesia. 

Tarif dasar Pasal 26 ini adalah sebesar 20% yang dihitung dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP). DPP Pasal 26 terdiri dari 3 (tiga) jenis, yaitu 
  1. jumlah bruto, 
  2. perkiraan penghasilan neto, dan 
  3. penghasilan setelah dikurangi pajak (earning after tax). 
Karena Pasal 26 adalah pemajakan terhadap Wajib Pajak Luar Negeri selain BUT yang penghasilannya bersumber dari Indonesia, dalam hal ketentuan P3B mengatur berbeda dari yang tertulis di Pasal 26, maka yang berlaku adalah ketentuan P3B sebagai lex specialis dari Undang-Undang Pajak Penghasilan. Namun demikian patut diperhatikan bahwa P3B tidak mengatur aspek pemajakan terkait objek-objek penghasilan yang dikenakan maupun yang tidak dikenakan pajak, melainkan mengatur pembatasan hak pemajakan suatu negara atas penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak Luar Negeri yang bersumber dari negara tersebut. 

Sifat pengenaan pajak dalam Pasal 26 
Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah final kecuali bagi penghasilan yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan dan pemotongan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau BUT. Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan menjelaskan bahwa:
“Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, Subjek Pajak Dalam Negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:
1. dividen;
2. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
3. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
4. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
5. hadiah dan penghargaan;
6. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
7. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
8. keuntungan karena pembebasan utang.”



Penghasilan Yang Diterima Wajib Pajak Luar Negeri : Pengalihan Harta Selain Saham

Berdasarkan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia yang diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap, dipotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto

Perkiraan penghasilan neto yang dimaksud di atas adalah sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari harga jual. Pemotongan pajak tersebut bersifat final dan atas penghasilan yang merupakan objek pajak pada pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 26.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-82/PMK.03/2009 mengatur bahwa atas penjualan atau pengalihan harta yang dimaksud di atas adalah penjualan atau pengalihan harta berupa perhiasan mewah, berlian, emas, intan, jam tangan mewah, barang antik, lukisan, mobil, motor, kapal pesiar, dan/atau pesawat terbang ringan.

Pengecualian pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 diberikan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi Luar Negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta yang besarnya tidak melebihi Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). 

Selain itu, untuk Wajib Pajak Luar Negeri yang berkedudukan di negara-negara yang telah mempunyai P3B dengan Indonesia, pemotongan pajak hanya dilakukan apabila berdasarkan P3B yang berlaku, hak pemajakannya berada di Indonesia.

Wajib Pajak Luar Negeri yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 memperoleh bukti pemotongan yang dibuat oleh pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong pajak.



Penghasilan Yang Diterima Wajib Pajak Luar Negeri : Pengalihan Saham

Selain atas penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri dari penjualan harta, Wajib Pajak Luar Negeri juga dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima dari pengalihan saham

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-434/KMK.04/1999, atas penghasilan Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap dari penjualan saham Perseroan Terbatas yang sahamnya tidak diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia atau tidak tercatat sebagai emiten atau perusahaan publik di Indonesia dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto. Perkiraan penghasilan neto yang dimaksud di atas adalah sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari harga jual.

Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26 atas penjualan saham yang dilakukan oleh Wajib Pajak Luar Negeri adalah pembeli yang ditunjuk sebagai pemotong. Besarnya tarif 
sebesar pemotongan adalah 20% dari 25% alias tarif efektif 5%. 

Dalam hal pembeli adalah Wajib Pajak Luar Negeri, maka yang menjadi pemungut pajak adalah perseroan yang sahamnya diperjualbelikan tersebut. Pencatatan akta pemindahan hak dilakukan apabila telah ditunjukkan asli bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 dan telah diserahkan fotokopi bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 kepada Perseroan.


Penghasilan Yang Diterima Wajib Pajak Luar Negeri : Premi Asuransi

Sesuai dengan Pasal 26 ayat (2) dan Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan, Menteri Keuangan berwenang menetapkan besaran perkiraan penghasilan neto atas penghasilan berupa premi yang diterima oleh perusahaan asuransi luar negeri. Terhadap perkiraan penghasilan neto tersebut dipotong pajak dengan tarif 20% (dua puluh persen).

Besaran perkiraan penghasilan neto yang diatur dalam KMK- 624/KMK.04/1994 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan Berupa Premi Asuransi dan Premi Reasuransi yang Dibayar Kepada Perusahaan Asuransi di Luar Negeri adalah sebagai berikut:

  1. atas premi dibayar tertanggung kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah premi yang dibayar; 
  2. atas premi yang dibayar oleh perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi yang berkedudukan di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah premi yang dibayar; 
  3. atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 5% (lima persen) dari jumlah premi yang dibayar. 
Pihak tertanggung, perusahaan asuransi yang berkedudukan di Indonesia, atau perusahaan reasuransi di Indonesia memotong pajak penghasilan pasal 26 atas pembayaran premi asuransi atau premi reasuransi kepada perusahaan asuransi yang berkedudukan di luar negeri dengan membuat 3 (tiga) rangkap Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 dengan ketentuan:
  • lembar ke-1 untuk pihak yang dipotong penghasilannya; 
  • lembar ke-2 untuk dilampirkan pada Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan 26 yang disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemotong terdaftar; 
  • lembar ke-3 untuk arsip pemotong pajak. 
Perlakuan perpajakan menurut KMK-624/KMK.04/1994 tersebut akan berbeda apabila terdapat P3B antara Indonesia dengan Negara Mitra, sehingga atas penghasilan yang diterima perusahaan asuransi yang berkedudukan di Negara Mitra baru dapat dikenakan pajak dalam hal perusahaan asuransi yang berkedudukan di Negara Mitra tersebut menjalankan kegiatan usaha dan menerima penghasilan melalui suatu Bentuk Usaha Tetap yang berada di Indonesia.

Penghasilan Yang Diterima Wajib Pajak Luar Negeri Melaui BUT : Branch Profit

Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan menjelaskan:
“Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.”
Pengecualian pengenaan branch profit tax diberikan apabila seluruh Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan dari suatu Bentuk Usaha Tetap ditanamkan kembali di Indonesia dalam bentuk:
  1. penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri; 
  2. penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham; 
  3. pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia; atau 
  4. investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia. 
Untuk mendapatkan pengecualian dimaksud di atas, terdapat dua persyaratan utama untuk dipenuhi oleh Bentuk Usaha Tetap, yaitu:
  1. penanaman kembali di Indonesia harus dilakukan paling lama pada akhir tahun pajak berikutnya, setelah tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut bagi BUT yang bersangkutan; dan 
  2. BUT yang bersangkutan menyampaikan pemberitahuan secara tertuis mengenai bentuk penanaman modal, realisasi penanaman kembali yang telah dilakukan dan/atau saat mulai berproduksi secara komersial bagi perusahaan yang baru didirikan, yang dilakukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. 
Selain persyaratan utama yang telah disebutkan di atas, terdapat juga persyaratan tambahan terhadap masing-masing jenis penanaman modal kembali yang dilakukan oleh BUT yang bersangkutan, yaitu:
  1. Untuk penyertaan modal pada perusahaan yang baru didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pendiri atau peserta pendiri, perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia secara aktif telah melakukan kegiatan usaha sesuai dengan akta pendiriannya paling lama 1 (satu) tahun sejak perusahaan tersebut didirikan dan BUT yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak perusahaan baru dimaksud berproduksi komersial; 
  2. Untuk penyertaan modal pada perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia sebagai pemegang saham, perusahaan yang sudah didirikan dan berkedudukan di Indonesia mempunyai kegiatan usaha aktif di Indonesia dan BUT yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas penyertaan modal paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak penyertaan modal. 
  3. Untuk pembelian aktiva tetap yang digunakan oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia atau investasi berupa aktiva tidak berwujud oleh Bentuk Usaha Tetap untuk menjalankan usaha Bentuk Usaha Tetap atau melakukan kegiatan Bentuk Usaha Tetap di Indonesia, BUT yang bersangkutan tidak boleh melakukan pengalihan atas pembelian aktiva tetap atau pengalihan atas investasi berupa aktiva tidak berwujud paling sedikit dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak perolehan aktiva tetap atau investasi aktiva tidak berwujud yang bersangkutan. 
Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (4) ini diperlakukan seperti pengenaan pajak atas dividen yang melekat pada Wajib Pajak Badan, tetapi subjek pemotongnya adalah Bentuk Usaha Tetap yang berada di Indonesia.


Penghasilan Yang Diterima Wajib Pajak Luar Negeri : Pelayaran dan Penerbangan Internasional

Pada dasarnya dalam P3B hak pemajakan atas perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan dengan jalur lalu lintas internasional adalah di negara dimana tempat manajemen efektif perusahaan itu berada


Dalam ketentuan domestik perpajakan di Indonesia, perlakuan perpajakan untuk perusahaan pelayaran dan/ atau penerbangan luar negeri diatur dengan norma penghitungan khusus yang terdapat pada pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan, dan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 417/KMK.04/1996.


Perlu diperhatikan bahwa Indonesia berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri atas penghasilan yang diterima dari kegiatan operasional jalur lintas domestik dan jalur lintas internasional yang berasal dari Indonesia


Hal ini di karenakan sumber penghasilannya berasal dari Indonesia. Sedangkan atas penghasilan dari kegiatan operasional jalur lalu lintas internasional yang berasal dari luar negeri ke wilayah Indonesia maka Indonesia tidak berhak mengenakan pajak.


Dalam KMK-417/KMK.04/1996 diatur bahwa penghasilan neto Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri adalah sebesar 6% (enam persen) dari peredaran bruto, yaitu semua imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri dari pengangkutan orang dan/ atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar negeri. 


Besarnya Pajak Penghasilan yang dikenakan terhadap Wajib Pajak tersebut adalah sebesar 2,64% (dua koma enam puluh empat persen) dari peredaran bruto Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/ atau Penerbangan Luar Negeri dan bersifat final.

Dengan adanya P3B antara Indonesia dengan Negara Mitra, maka dalam mengaplikasikan pengenaan pajak terhadap Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Asing sudah tentu harus melihat isi dari P3B antara Indonesia dengan Negara Mitra tersebut terutama pada article General Definitions dan article Shipping and Air Transport karena tidak setiap P3B mengaplikasikan hak pemajakan yang sama antara satu dengan yang lainnya.


Penghasilan Yang Diterima Wajib Pajak Luar Negeri : Kantor Perwakilan Dagang Asing (KPDA)

Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan nomor 634/KMK.04/1994, penghasilan neto dari Wajib Pajak Luar Negeri yang memiliki Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia ditetapkan sebesar 1% (satu persen) dari nilai ekspor bruto, dan pelunasan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Luar Negeri tersebut adalah sebesar 0,44% (empat puluh empat per seribu) dari nilai ekspor bruto

Nilai ekspor bruto adalah semua nilai pengganti atau imbalan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia dari penyerahan barang kepada orang pribadi atau badan yang berada atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Direktur Jenderal Pajak melalui Surat Edaran Nomor SE-2/ PJ.03/2008 memberikan penegasan atas pertanyaan yang timbul terhadap pengenaan pajak kepada Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia. Dalam suratnya, Direktur Jenderal Pajak menegaskan bahwa Wajib Pajak Luar Negeri yang dimaksud dalam KEP-667/PJ./2001 adalah Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia yang berasal dari negara yang belum mempunyai P3B.

Sedangkan untuk Wajib Pajak Luar Negeri yang mempunyai Kantor Perwakilan Dagang di Indonesia yang berasal dari Negara Mitra atau yurisdiksi mitra P3B, besarnya tarif pajak yang terutang disesuaikan dengan tarif Branch Profit Tax dari suatu Bentuk Usaha Tetap tersebut sebagaimana dimaksud dalam P3B terkait. 

Untuk Kantor Perwakilan Dagang yang yang dikecualikan dari Bentuk Usaha Tetap sesuai dengan P3B antara Indonesia dengan Negara Mitra atau yurisdiksi mitra, maka hak pemajakannya berada di negara domisili dimana Wajib Pajak Luar Negeri tersebut terdaftar sebagai resident

Dengan demikian, pengenaan pajak kepada Kantor Perwakilan Dagang Asing yang berasal dari negara mitra P3B dapat dilakukan serpanjang kegiatan yang dilakukan oleh Kantor Perwakilan Dagang Asing dimaksud tidak termasuk pada kegiatan yang dikecualikan sebagai bentuk usaha tetap, sebagaimana diatur dalam P3B yang berlaku.



P3B (Tax Treaty)

Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) adalah perjanjian pajak antara 2 (dua) negara (bilateral) yang mengatur mengenai pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh penduduk dari salah satu atau kedua negara yang melakukan perjanjian (both Contracting States). 

Pembagian hak pemajakan tersebut diatur dengan tujuan untuk mencegah seminimal mungkin terjadinya pengenaan pajak berganda. Pencegahan pajak berganda tersebut diatur dengan membatasi hak pemajakan dari negara sumber atas penghasilan yang timbul dari wilayah juridiksinya.

Tujuan diadakannya P3B adalah:

  1. Mencegah terjadinya pemajakan berganda, serta mencegah terjadinya penghindaran pajak (tax avoidance) dan pengelakan pajak (tax evasion); 
  2. Memberikan kedudukan yang setara dalam hal pemajakan antar kedua Negara; 
  3. Peningkatan investasi dan Sumber Daya Manusia; 
  4. Pertukaran informasi melalui Exchange Of Information (EOI) guna mencegah penghindaran pajak; dan 
  5. Penyelesaian sengketa melalui Mutual Agreement Procedure (MAP), dan bantuan dalam penagihan pajak. 
Pasal 32A Undang-Undang Pajak Penghasialn menjelaskan bahwa: 
“Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.” 
Kedudukan P3B adalah lex specialist terhadap Undang-Undang domestik (aturan hukum khusus akan mengesampingkan aturan hukum umum). Artinya jika ada ketentuan dalam undang-undang domestik yang bertentangan dengan ketentuan dalam P3B maka yang dimenangkan adalah ketentuan P3B. Dalam menentukan hak pemajakan, azas yang digunakan adalah sumber penghasilan, status kewarganegaraan, dan status kependudukan.Pada awalnya tax treaty bertujuan mengurangi double taxation sehingga aturan yang ada dalam tax treaty mengurangi hak pemajakan both contracting states. Kelemahan ini kemudian dimanfaatkan tax planner untuk menghindari pajak sehingga wajib pajak bebas pajak. Negara-negara kemudian sadar adanya double non-taxation

raden agus suparman : bagan skema interaksi UU PPh dan P3B
klik gambar biar lebih jelas


Dalam perpajakan internasional, terdapat 3 (tiga) metode hak pemajakan. 

  • Pertama, pemajakan unilateral dimana hak pemajakan di dalam wilayah kedaulatan Indonesia diatur sepenuhnya oleh pemerintah Indonesia dan berlaku bagi seluruh masyarakat atau badan internasional yang ada di wilayah Indonesia. 
  • Kedua, metode pemajakan bilateral (tax treaty) dimana hak pemajakan diatur melalui perjanjian antara kedua negara yang mengatur hak pemajakan atas penghasilan dan warga negara kedua belah pihak. 
  • Ketiga, metode pemajakan multilateral (tax convention) yang didasari oleh konvensi internasional dimana ketentuan atau ketetapan atau keputusan yang dihasilkan digunakan untuk kepentingan negara-negara tersebut. 

Hal-hal yang diatur dalam perjanjian P3B diantaranya adalah:

  1. subjek pajak yaitu pengaturan terhadap Subjek Pajak Dalam Negeri, Luar Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT); 
  2. objek pajak yaitu antara lain penghasilan atas kegiatan usaha, penghasilan atas penjualan saham dan aset, dividen, bunga, royalti, dan penghasilan atas jasa tertentu; 
  3. jenis pajak, tarif, dan kondisi khusus lainnya yang secara umum menjadi sengketa atau rentan terjadi pemajakan berganda; serta 
  4. prosedur dalam melaksanakan MAP, EOI, dan bantuan penagihan pajak. 

Sedangkan metode penghindaran pajak berganda yang digunakan yaitu dengan pembebasan/pengecualian pajak, kredit pajak, dan metode lainnya seperti pembagian/pengurangan tarif dan pemajakan dengan jumlah tetap. 

Model perjanjian yang digunakan di Indonesia adalah:
  • Model OECD (Organization for Economic Cooperation and Development). Merupakan model P3B untuk negara-negara maju. Model ini mengedepankan asas domisili Negara yang memberikan jasa atau menanamkan modal. 
  • Model UN (United Nation). Merupakan model P3B untuk negara-negara berkembang. Model ini lebih mengedepankan asas sumber penghasilan, dimana hak pemajakan berada pada Negara yang memberi penghasilan. 
Kedua model perjanjian diatas adalah dasar dari pembuatan P3B Indonesia dengan negara mitra, namun pada pelaksanaannya, bentuk P3B yang digunakan dibuat berdasarkan kondisi dan kepentingan Indonesia pada saat perjanjian berlangsung. sehingga bentuk P3B Indonesia tidak baku dan merupakan gabungan dari kedua model perjanjian diatas.


Treaty Shopping dan pencegahan penyalahgunaan P3B

Treaty Shopping adalah salah satu bentuk penyalahgunaan P3B, dimana seseorang bertindak melalui suatu entity di negara mitra lainnya dengan tujuan hanya untuk memanfaatkan keuntungan yang ada dalam P3B, yang sebenarnya tidak dapat dimanfaatkan oleh seseorang tersebut. Entitas tersebut sering disebut perusahaan cangkang atau special porpose vehicle (SPV).

Kriteria sebuah transaksi digolongkan sebagai penyalahgunaan P3B (yang memuat persyaratan 
beneficial owner (BO))  :
  1. Transaksi tersebut tidak mempunyai substansi ekonomi dan semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B; 
  2. Transaksi yang format hukumnya (legal form) berbeda dengan substansi ekonomisnya (economic substance) dan semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B; atau 
  3. Penerima penghasilan bukan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis penghasilan (beneficial owner/BO). 
Persyaratan tidak terjadinya penyalahgunaan P3B dalam hal Wajib Pajak Luar Negeri merupakan orang pribadi adalah orang pribadi tersebut tidak bertindak sebagai Agen atau Nominee.

Sedangkan persyaratan tidak terjadinya penyalahgunaan P3B dalam hal Wajib Pajak Luar Negeri merupakan Wajib Pajak badan :
pertama: Wajib Pajak Luar Negeri merupakan perusahaan yang sahamnya terdaftar di Pasar Modal (listed company) dan diperdagangkan secara teratur; 

kedua : bagi penghasilan yang di dalam P3B terkait tidak memuat persyaratan beneficial owner, Wajib Pajak Luar Negeri menjawab bahwa pendirian perusahaan di Negara Mitra P3B atau pengaturan struktur/skema transaksi tidak ditujukan untuk pemanfaatan P3B. 


ketigapenghasilan yang di dalam P3B terkait memuat persyaratan beneficial ownerWajib Pajak Luar Negeri menjawab (lihat Form DGT-1): 
  1. pendirian perusahaan di Negara Mitra P3B atau pengaturan struktur/skema transaksi tidak ditujukan untuk pemanfaatan P3B; dan 
  2. kegiatan usaha dikelola oleh manajemen sendiri yang mempunyai kewenangan yang cukup untuk menjalankan transaksi; dan 
  3. perusahaan mempunyai pegawai yang memadai; dan 
  4. mempunyai kegiatan atau usaha aktif; dan 
  5. penghasilan yang bersumber dari Indonesia terutang pajak di negara penerimanya; dan 
  6. tidak menggunakan lebih dari 50% (lima puluh persen) dari total penghasilannya untuk memenuhi kewajiban kepada pihak lain dalam bentuk, seperti: bunga, royalti, atau imbalan lainnya.


Kewajiban Pemotong/Pemungut Pajak dan Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) dalam pelaksanaan P3B

Pemotong/Pemungut Pajak wajib melakukan pemotongan atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam P3B, dalam hal:
  1. penerima penghasilan bukan Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia;
  2. persyaratan administratif untuk menerapkan ketentuan yang diatur dalam P3B telah dipenuhi; dan
  3. tidak terjadi penyalahgunaan P3B oleh WPLN sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tentang pencegahan dan penyalahgunaan P3B.
Apabila ketentuan tersebut diatas tidak dapat dipenuhi, Pemotong/ Pemungut Pajak wajib memotong atau memungut pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Sedangkan bagi WPLN untuk dapat memperoleh manfaat P3B harus memenuhi syarat administratif yaitu:

  1. Menggunakan formulir Form-DGT 1 dan Form-DGT 2, mengisi dengan lengkap dan menandatanganinya;
  2. Formulir tersebut telah disahkan oleh pejabat yang berwenang (Competent Authority) di Negara tempat WPLN terdaftar sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri; dan
  3. Menyampaikan kepada Pemotong/Pemungut Pajak sebelum berakhirnya batas waktu penyampaian SPT masa untuk masa terutangnya pajak.
Yang dimaksud formulir Form-DGT 1 dan Form-DGT 2 diatas adalah formulir yang ditetapkan dalam Lampiran II (Form - DGT 1) atau Lampiran III (Form - DGT 2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER- 24/PJ/2010.

Form-DGT 2 digunakan dalam hal:
  1. WPLN menerima atau memperoleh penghasilan melalui Kustodian sehubungan dengan penghasilan dari transaksi pengalihan saham atau obligasi yang diperdagangkan atau dilaporkan di pasar modal di Indonesia, selain bunga dan dividen;
  2. WPLN bank; atau
  3. WPLN yang berbentuk dana pensiun yang pendiriannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di Negara Mitra P3B Indonesia dan merupakan Subjek Pajak di Negara Mitra P3B Indonesia.
Kustodian adalah pihak yang memberikan jasa penitipan efek dan harta lain yang berkaitan dengan efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.


Surat Keterangan Domisili (SKD)

Surat Keterangan Domisili (SKD) atau Certificate of Residence (COD) digunakan untuk membuktikan bahwa Wajib Pajak tertentu adalah Subjek Pajak Dalam Negeri (resident) dari suatu Negara tertentu yang menandatangani P3B. 

SKD adalah persyaratan administratif bagi WPLN untuk menggunakan fasilitas yang ada dalam P3B. Apabila WPLN tidak dapat melampirkan SKD yang diterbitkan oleh otoritas negaranya dalam laporan perpajakannya di Indonesia, maka pemotong/pemungut pajak wajib memotong/memungut pajak atas penghasilan yang diperoleh di Indonesia sesuai peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia. 

Begitu pula dengan WPDN Indonesia yang memperoleh penghasilan dari Negara Mitra, apabila WPDN Indonesia tidak dapat melampirkan SKD yang diterbitkan oleh otoritas Indonesia maka WPDN tersebut akan dikenakan pajak atas penghasilan dari Negara Mitra sesuai peraturan perpajakan yang berlaku di Negara Mitra tersebut.

SKD diterbitkan atau disahkan oleh Direktur Jenderal Pajak melalui KPP Domisili berdasarkan permohonan Wajib Pajak. Yang dimaksud dengan KPP domisili adalah Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau domisili Wajib Pajak orang pribadi terdaftar atau tempat kedudukan Wajib Pajak badan terdaftar. KPP Domisili menerbitkan SKD dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah menerima permohonan Wajib Pajak secara lengkap. 

Formulir SKD yang diterbitkan adalah form DGT-7 sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II PER-35/PJ/2010 atau menggunakan formulir khusus yang digunakan oleh Negara Mitra P3B. Masa berlaku SKD adalah 12 bulan sejak tanggal disahkan. 

Isi SKD menerangkan bahwa Wajib Pajak bersangkutan adalah Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia, yang berdomisili/menjalankan usahanya di wilayah KPP domisili dan telah melaporkan SPT Tahunan PPh pada Tahun Pajak yang dimaksud. Bagi Wajib Pajak luar negeri, SKD yang diterbitkan Negara Mitra adalah sesuai kelaziman di Negara tempat WPLN berkedudukan, namun sekurang-kurangnya harus menyatakan bahwa WPLN yang bersangkutan benar bekedudukan di Negara tersebut sesuai dengan peraturan P3B yang berlaku, disertai dengan tanggal dan tanda tangan pejabat yang menerbitkan SKD tersebut.

Pengembalian atas Kelebihan Pembayaran Pajak (Refund) yang Seharusnya Tidak terutang

Wajib Pajak Luar Negeri dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang dalam hal:
terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut berupa:

  1. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada Pajak Penghasilan yang seharusnya dipotong atau dipungut, termasuk yang diatur dalam P3B; 
  2. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh bukan subjek pajak; 
  3. pemungutan Pajak Pertambahan Nilai terhadap bukan Pengusaha Kena Pajak yang lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipungut; atau 
  4. pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap Pengusaha Kena Pajak atau bukan Pengusaha Kena Pajak yang lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipungut. 

Atau terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang bukan merupakan objek pajak:

  1. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut; 
  2. pemungutan Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya tidak dipungut; atau 
  3. pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang seharusnya tidak dipungut. 
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10/PMK.03/ 2013 , Wajib Pajak yang berhak mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang karena kesalahan pemotongan atau pemungutan dan telah disetorkan dan dilaporkan adalah Wajib Pajak Dalam Negeri atau Pengusaha Kena Pajak dan Wajib Pajak Luar Negeri yang yang menjalankan kegiatan atau usaha melalui Bentuk Usaha Tetap di Indonesia. 

Sedangkan bila pihak yang dipotong atau dipungut merupakan Wajib Pajak Luar Negeri yang tidak menjalankan kegiatan atau usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, permohonan pengembalian dapat dilakukan melalui Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan.
Permohonan pengembalian diajukan atas suatu bukti pembayaran, bukti pemotongan/pemungutan pajak, faktur pajak atau dokumen lain yang dipersamakan dengan faktur pajak. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan format sesuai peraturan beserta lampiran terkait dan ditandatangani oleh Wajib Pajak terkait ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak pemohon terdaftar.

Berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak melalui KPP terkait melakukan peneltian atas permohonan dan dapat meminta dokumen pendukung yang diperlukan kepada Wajib Pajak. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, kelebihan pembayaran akan dikembalikan melalui Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.


CONTROLLED FOREIGN COMPANY (CFC)

Controlled Foreign Corporation adalah perusahaan yang berkedudukan di luar negeri (offshore company) yang kepemilikannya dikuasai oleh Wajib Pajak Dalam Negeri.

CFC dibuat sebagai alat untuk menangguhkan kewajiban pajak atas penghasilan dari operasi perusahaan tersebut dengan cara menangguhkan pendistribusian dividen ke pemegang saham.

Untuk menghadapi penghindaran pajak tersebut, Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan menjelaskan bahwa :

“Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut:1. besarnya penyertaan modal Wajib Pajak Dalam Negeri tersebut paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau2. secara bersama-sama dengan Wajib Pajak Dalam Negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor.”
Ketentuan tersebut kemudian diatur lebih lanjut melalui PMK Nomor 256/PMK.03/2008 yang mengatur saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek. 

Saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak tersebut adalah ditentukan sebagai berikut:
  1. pada bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan badan usaha di luar negeri tersebut untuk tahun pajak yang bersangkutan; atau
  2. pada bulan ketujuh setelah tahun pajak berakhir apabila badan usaha di luar negeri tersebut tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan atau tidak ada ketentuan batas waktu penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan.
Sedangkan besarnya dividen yang wajib dihitung oleh Wajib Pajak Dalam Negeri adalah sebesar jumlah dividen yang menjadi haknya terhadap laba setelah pajak yang sebanding dengan penyertaannya pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, kecuali dividen tersebut telah dibagikan oleh perusahaan luar negeri sebelum batas waktu yang ditentukan dalam peraturan dan atas penghasilan tersebut wajib dilaporkan oleh Wajib Pajak di Surat Pemberitahuan Tahunan PPh-nya untuk tahun pajak dibagikannya dividen tersebut.

Pajak atas dividen yang telah dibayar atau dipotong di luar negeri dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Undang-Undang Pajak Penghasilan. Ketentuan ini menerangkan bahwa pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Dalam Negeri dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-Undang PPh dalam tahun pajak yang sama, dan besarnya kredit pajak tersebut adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang PPh.

raden agus suparman : bagan skema contoh kasus CFC
klik gambar untuk memperbesar



SPECIAL PURPOSE COMPANY

Special Purpose Company adalah adalah sebuah perusahaan dengan tujuan atau fokus yang terbatas. Perusahaan ini dibentuk oleh suatu badan hukum untuk melakukan aktivitas khusus atau bersifat sementara. 

Perusahaan ini biasanya, walaupun tidak perlu, dikuasai hampir sepenuhnya oleh badan hukum yang menjadi sponsornya. SPC dapat digunakan sebagai suatu saluran (conduit) dalam menghindari pembayaran pajak atas penghasilan yang diperoleh dengan cara mendirikan perusahaan di salah satu Negara Mitra P3B (treaty shopping). 

Tujuan pembentukan SPC tersebut tidak selalu untuk mendapatkan harga saham atau aktiva di bawah harga pasar, yang paling sering adalah sebagai perusahaan “bentukan” untuk memanfaatkan dan menikmati fasilitas perpajakan yang disediakan dalam P3B antara Indonesia dengan Negara Mitra.

Pasal 18 ayat (3b) Undang-Undang Pajak Penghasilan menjelaskan:

“Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian (special purpose company), dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga.”
Peraturan tersebut kemudian diatur lebih lanjut melalui PMK Nomor 140/PMK/2010 yang menjelaskan bahwa pembelian saham atau aktiva Wajib Pajak badan dalam negeri oleh suatu pihak atau badan yang dibentuk khusus untuk maksud demikian (special purpose company) dapat ditetapkan sebagai pembelian yang dilakukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri. 

Walaupn dilakukan oleh SPC tetapi sebenarnya yang melakukan pembelian dimaksud Wajib Pajak Dalam Negeri sepanjang Wajib Pajak Dalam Negeri yang ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut mempunyai Hubungan Istimewa dengan pihak atau badan yang dibentuk untuk maksud melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan (special purpose company); dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga pembelian.

Sedangkan saham yang dimaksud adalah:
  1. Saham atau aktiva yang sebelumnya dimiliki dan/atau dijaminkan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri yang ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian, sehubungan dengan perjanjian utang piutang; atau
  2. Aktiva yang merupakan aset kredit (piutang) kepada Wajib Pajak Dalam Negeri yang ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian, sehubungan dengan perjanjian utang piutang.


Penjualan atau pengalihan saham SPC

Pasal 18 ayat (3c) Undang-Undang Pajak Penghasilan menjelaskan:
“Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company atau special purpose company) yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindung pajak (tax haven country) yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dapat ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia.”
Peraturan tersebut kemudian diatur lebih lanjut melalui PMK Nomor 258/PMK.03/2008 yang menjelaskan bahwa atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara tersebut dikenakan PPh final sebesar 20% dari penghasilan netto yaitu 25% dari harga jual. 

Apabila saham tersebut dibeli oleh Wajib Pajak Luar Negeri, maka pihak yang ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah badan yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia yang sahamnya diperjualbelikan oleh pemegang saham Wajib Pajak Luar Negeri di luar Bursa Efek; dan harus mencatat akta pemindahan hak atas saham yang dijual.


MUTUAL AGREEMENT PROCEDURES (MAP)

Mutual Agreement Procedure (MAP) merupakan alternatif bagi Wajib Pajak untuk menyelesaikan sengketa yang menimbulkan pemajakan berganda, atau apabila terdapat indikasi bahwa tindakan otoritas Negara Mitra menyebabkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan P3B

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan asistensi kepada Direktur Jenderal Pajak sebagai Competent Authority atas sengketa yang timbul dari pemajakan berganda dengan Negara Mitra P3B antara lain berasal dari penyesuaian akibat koreksi Transfer Pricing, permasalahan berkaitan dengan keberadaan BUT (permanent establishment), karakterisasi atas suatu penghasilan, tindakan lain yang tidak sesuai dengan peraturan dalam P3B.


MAP dilaksanakan dalam hal terdapat :

  1. permintaan yang diajukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia; 
  2. permintaan yang diajukan oleh Warga Negara Indonesia yang telah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B sehubungan dengan ketentuan non diskrimasi (non-discrimination) dalam P3B yang berlaku; 
  3. permintaan yang diajukan oleh Negara Mitra P3B; atau 
  4. hal yang dianggap perlu oleh dan atas inisiatif Direktur Jenderal Pajak. 
Jangka waktu pengajuan permohonan MAP diatur berdasarkan P3B yang berlaku dengan Negara Mitra.


Permintaan MAP yang diajukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia

Permintaan untuk melaksanakan MAP yang diajukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri dilakukan antara lain dalam hal:
  1. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia dikenakan pajak atau akan dikenakan pajak karena melakukan praktik Transfer Pricing sehubungan adanya transaksi dengan Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B yang mempunyai Hubungan Istimewa; 
  2. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia menganggap bahwa tindakan Negara Mitra P3B mengakibatkan atau akan mengakibatkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan P3B sehubungan dengan keberadaan atau penghasilan Bentuk Usaha Tetap yang dimiliki oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia di Negara Mitra P3B; 
  3. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia menganggap bahwa tindakan Negara Mitra P3B mengakibatkan atau akan mengakibatkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan P3B sehubungan dengan pemotongan pajak di Negara Mitra P3B; atau 
  4. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang juga merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B meminta pelaksanaan konsultasi dalam rangka MAP untuk menentukan status dirinya sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri dari salah satu negara tersebut. 
Permohonan pengajuan MAP sekurang-kurangnya memuat:
  1. nama, alamat, dan kegiatan usaha Warga Negara Indonesia yang mengajukan permintaan; 
  2. tindakan atau pengenaan pajak yang telah dilakukan oleh otoritas pajak Negara Mitra P3B yang dianggap lebih berat dibandingkan dengan tindakan atau pengenaan pajak yang dilakukan oleh otoritas pajak Negara Mitra P3B dimaksud kepada warga negaranya sendiri; 
  3. Tahun Pajak sehubungan dengan permintaan yang dilakukan; 
  4. pihak yang dapat dihubungi oleh Direktur Jenderal Pajak dalam rangka tindak lanjut atas permohonan yang telah disampaikan oleh yang bersangkutan; dan 
  5. nama kantor pajak Negara Mitra P3B, jika memungkinkan nama unit vertikal kantor pajak Negara Mitra P3B yang terkait dalam hal diketahui oleh yang bersangkutan. 
DJP dapat menolak permohonan Wajib Pajak apabila:
  1. permintaan disampaikan setelah melewati batas waktu penyampaian sebagaimana diatur dalam P3B yang berlaku dengan Negara Mitra; 
  2. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atas permasalahan yang dimintakan MAP dan tidak mencabut permohonan keberatan dimaksud; atau 
  3. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia mengajukan permohonan banding kepada badan peradilan pajak atas permasalahan yang dimintakan MAP dan tidak mencabut permohonan Banding dimaksud; 

ADVANCED PRICING AGREEMENT (APA)

Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) adalah perjanjian antara Direktorat Jenderal Pajak dan Wajib Pajak dan/ atau otoritas pajak negara lain untuk menyepakati kriteria-kriteria dan/atau menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar dimuka para pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa. 

Kriteria-kriteria tersebut diantaranya penentuan metode Transfer Pricing dan faktor-faktor yang digunakan dalam analisis asumsi kritikal (critical assumptions).

Tujuan Kesepakatan Harga Transfer adalah untuk memberikan sarana kepada Wajib Pajak guna menyelesaikan permasalahan Transfer Pricing. Ruang lingkup Kesepakatan Harga Transfer meliputi seluruh atau sebagian transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.

Pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang Pajak Penghasilan menjelaskan bahwa: 
“Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerjasama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa, yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.” 
Keuntungan dari Advance Pricing Agreement (APA) selain untuk memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, Fiskus tidak perlu lagi melakukan koreksi dalam pemeriksaan atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.

Wajib Pajak mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktorat Jenderal Pajak melalui Direktur Peraturan Perpajakan II dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak domisili untuk melakukan pembicaraan awal (prelodgement) menggunakan formulir APA-1 dengan melampirkan persyaratan sesuai ketentuan yang berlaku.

Tahapan pembahasan APA:

Pembicaraan awal (prelodgement meeting) antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak;
  1. penyampaian permohonan formal Kesepakatan Harga Transfer oleh Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak berdasarkan hasil pembicaraan awal;
  2. pembahasan Kesepakatan Harga Transfer antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak;
  3. penerbitan surat Kesepakatan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak; dan
  4. pelaksanaan dan evaluasi Kesepakatan Harga Transfer.

Pembahasan APA

Topik yang dibahas dalam APA antara lain:
  1. ruang lingkup transaksi dan Tahun Pajak yang akan dicakup oleh Kesepakatan Harga Transfer;
  2. Analisis Kesebandingan, pemilihan dan penentuan data pembanding;
  3. penentuan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat;
  4. kondisi dan faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan metode Penentuan Harga Transfer; dan
  5. perlu atau tidaknya diadakan Kesepakatan Harga Transfer dengan negara/jurisdiksi lain.
Dalam hal Wajib Pajak menganggap bahwa Kesepakatan Harga Transfer dapat menyebabkan terjadinya pengenaan pajak berganda, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak untuk mengadakan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP) dengan otoritas pajak dari negara/jurisdiksi mitra P3B.

Tindak lanjut pelaksanaan hasil APA

Kesepakatan Harga Transfer dapat diberlakukan untuk Tahun Pajak sebelum Kesepakatan Harga Transfer disepakati sepanjang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak untuk Tahun Pajak dimaksud belum pernah dilakukan pemeriksaan; belum pernah diajukan keberatan atau banding oleh Wajib Pajak; dan tidak terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan.

Dalam pelaksanaan hasil Kesepakatan Harga Transfer, Wajib Pajak wajib menyampaikan laporan tahunan (annual compliance report) yang menggambarkan kesesuaian pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer dalam kegiatan atau usaha Wajib Pajak kepada Kepala KPP Domisili paling lambat 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak. Yang didalamnya memuat:
  1. kepatuhan Wajib Pajak menerapkan metode Penentuan Harga Transfer dalam transaksi yang dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer;
  2. penjelasan rinci mengenai keakuratan dan konsistensi penerapan metode Penentuan Harga Transfer; dan
  3. penjelasan rinci mengenai keakuratan faktor-faktor yang mempengaruhi (critical assumptions) penerapan metode Penentuan Harga Transfer.

RANGKUMAN TAX TREATY

Resident Tie Breaker

Resident Tie Breaker adalah prosedur untuk menentukan seseorang “penduduk” negara mana. Penduduk atau resident adalah kelaziman dalam perpajakan Internasional karena perpajakan pada umumnya tidak mengenal kewarganegaraan sebagai penentu. Siapa harus tunduk pada aturan siapa mengacu pada kependudukan (sering juga disebut domisili).

Jadi Resident Tie Breaker berfungsi sebagai penentu bagi permasalahan dual resident.

Resident Tie Breaker dilakukan secara berurutan dan bertahap sesuai dengan tax treaty yang sudah ditanda-tangani. Ada dua jenis Resident Tie Breaker, yaitu satu untuk individu atau sering disebut Wajib Pajak Orang Pribadi, kedua untuk persons other than individual atau kita sebut jasa wajib pajak badan.

Resident Tie Breaker untuk Wajib Pajak Orang Pribadi terdiri: Tempat tinggal (Permanent Home), pusat kepentingan (Centre of Vital Interests), kebiasaan berdiam (Habitual Abode), status kewarganegaraan (Nationality), Citizenship, dan prosedur kesepakatan (Mutual Agreement Procedures). Kriteria pengujian dan dilakukan secara berurutan (sequency) artinya apabila kriteria pertama tidak dapat memecahkan masalah dual residence maka digunakan kriteria kedua dan seterusnya.

Tempat tinggal tetap (permanent home) yaitu tempat dimana Wajib Pajak tinggal dalam jangka waktu yang relatif lama sehingga memenuhi persyaratan degree of permanence. Pusat kepentingan (centre of vital interest) yaitu tempat dimana hubungan keluarga dan kepentingan ekonomi berada.

Ada 39 tax treaty yang menggunakan Tie Breaker dengan urutan sebagai berikut: Permanent Home, Centre of Vital Interests, Habitual Abode, dan terakhir Mutual Agreement Procedures.

Sebanyak 22 tax treaty menggunakan Tie Breaker dengan urutan sebagai berikut: Permanent Home, Centre of Vital Interests, Habitual Abode, Nationality, dan terakhir Mutual Agreement Procedures.

Istilah Citizenship hanya digunakan dalam satu tax treaty yang kedudukannya sama seperti Nationality. Menurut saya, urutan yang kedua sama saja dengan ketiga.

Sedangkan Resident Tie Breaker untuk Wajib Pajak Badan terdiri: MAP (Mutual Agreement Procedures); POCM (Place of Control and Management); POEM (Place of Effective Management); POI (Place of Incorporation); POO (Place of where it is organised).

Ada 29 tax treaty yang hanya menggunakan Mutual Agreement Procedures untuk menentukan dual resident, 26 tax treaty hanya menggunakan Place of Effective Management, dan 3 tax treaty hanya menggunakan Place of Incorporation.

Permanent Establishment

Permanent Establishment diterjemahkan sebagai bentuk usaha tetap (BUT). Undang-Undang Pajak Penghasilan mendefinisikan BUT sebagai “kendaraan” Wajib Pajak Luar Negeri untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. Kalimat lengkapnya seperti ini, 
“Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia”.

Tetapi dalam konteks tax treaty, Permanent Establishment adalah batas kewenangan Indonesia mengenakan pajak.

Tax treaty biasanya mengatur hak pemajakan dari penghasilan usaha (business profit) sepenuhnya diserahkan kepada negara domisili atau negara dimana Wajib Pajak terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri. Pengecualian dari ketentuan tersebut adalah terpenuhi syarat Permanent Establishment sesuai tax treaty.

Jika terpenuhi syarat Permanent Establishment sesuai tax treaty, maka Indonesia berhak mengenakan pajak sesuai tax treaty. [pada kebanyakan, Indonesia sebagai negara sumbber].

Pada dasarnya, Permanent Establishment dikelompokkan ke dalam empat tipe :

Satu: Tipe Aset.

Permanent Establishment Tipe Aset memiliki ciri fixed place yang dapat dirinci menjadi tiga pengujian [test], yaitu :

  1. place of business, yaitu tempat atau prasarana seperti tempat manajemen perusahaan, cabang, kantor, pabrik, bengkel dan tambang, sumur minyak atau gas, galian atau tempat lain untuk mengambil sumber daya alam. Tempat tersebut bisa milik sendiri atau hanya sewa. 
  2. fixed, tempat usaha harus bersifat tetap, yaitu harus berada di satu tempat yang bersifat tetap.
  3. doing business through that fixed place, yaitu kegiatan usaha perusahaan tersebut dilakukan melalui tempat tetap tersebut.

Dan syarat fixed place inilah yang banyak dimanfaatkan oleh perusahaan digital. Fixed place menjadi kelemahan tax treaty sejak industri internet berkembang.

Dua: Tipe Aktivitas
Permanent Establishment tipe aktivitas ada dua:

  1. proyek bangunan, konstruksi, perakitan, instalasi, atau aktivitas supervisi (pengawasan) untuk proyek tersebut selama 12 bulan. Ini yang ada di OECD model. Tetapi di UN model time test menjadi 6 bulan saja. 
  2. kegiatan jasa termasuk konsultasi yang dilakukan perusahaan di negara lain selama 6 bulan dalam 12 bulan. Di OECD model jasa ini tidak diatur secara khusus tapi di UN model diatur yaitu di Pasal 5 ayat (3) huruf b. Negara-negara maju berpendirian bahwa jasa teknik dikenakan di negara domisili kecuali melalui agen tidak bebas. Tetapi negara-negara berkembang yang tergabung dalam UN tax experts group berpendapat bahwa hal ini merugikan mereka sehingga kegiatan pemberian jasa ditetapkan sebagai BUT jika melewati time test
Berbeda dengan proyek fisik diatas, time test jasa tidak perlu terus-menerus. Bisa putus-putus yang penting dalam 12 bulan ada 6 bulan. Pemberian jasa ini bisa dilakukan oleh pegawai perusahaan atau orang lain yang dipekerjakan oleh perusahaan itu untuk tujuan tersebut.

NO
NEGARA


TES WAKTU

Konstruksi
Instalasi
Perakitan
Kegiatan Pengawasan
Jasa Lainnya
1.
ALGERIA
3 bulan
3 bulan
3 bulan
3 bulan
3 bulan/12bulan
2.
AUSTRALIA
120 hari
120 hari
120 hari
120 hari
120 hari/12bulan
3.
AUSTRIA
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
3 bulan/12bulan
4.
BANGLADESH
183 hari
183 hari
183 hari
183 hari
91 hari/12 bulan
5.
BELGIUM
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
183 hari/ 12bulan
6.
BRUNEI DARUSSALAM
183 hari
3 bulan
3 bulan
183 hari
3 bulanl12bulan
7.
BULGARIA
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
120 haril 12bulan
8.
CANADA
120 hari
120 hari
120 hari
120 hari
120 haril 12 bulan
9.
CZECH
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
3 bulan/12 bulan
10.
CHINA
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan/ 12bulan
11.
DENMARK
6 bulan
3 bulan
3 bulan
6 bulan
3 bulanl 12 bulan
12.
EGYPT
6 bulan
4 bulan
4 bulan
6 bulan
3 bulan/1 2bulan
13.
FINLAND
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
3 bulanl1 2bulan
14.
FRANCE
6 bulan
n/a
6 bulan
183 hari/12 bulan
183 haril 12 bulan
15.
GERMANY
6 bulan
6 bulan
Tidak Ada
Tidak Ada
7,5 % 1
16.
HUNGARY
3 bulan
3 bulan
3 bulan
3 bulan
4 bulan/12bulan
17.
INDIA
183 hari
183 han
183 hari
183 hari
91 hari/ 12bulan
18.
IRAN
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
183 hari/12bulan
19.
ITALY
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
3 bulan/12bulan
20.
JAPAN
6 bulan
6 bulan
Tidak Ada
6 bulan
6 bulan/tahunpajak2
21.
JORDAN
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
1 bulan/12bulan
22.
KOREA, REPUBLIC OF
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
3 bulan/12 bulan
23.
KOREA. DEMOCRATIC PEOPLE'S REPUBLIC OF
12 bulan
12 bulan
12 bulan
12 bulan
6 bulan/12 bulan
24.
KUWAIT
3 bulan
3 bulan
3 bulan
3 bulan
3 bulan/12 bulan
25.
LUXEMBOURG
5 bulan
5 bulan
5 bulan
5 bulan
10% 3
26.
MALAYSIA
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
3 bulan/12 bulan
27.
MEXICO
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
91 hari/12 bulan
26.
MONGOLIA
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
3 bulan/12 bulan
29.
NETHERLANDS
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
3 bulan/12 bulan
30.
NEW ZEALAND
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
3 bulan/12 bulan
31.
NORWAY
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
3 bulan/12 bulan
32.
PAKISTAN
3 bulan
3 bulan
3 bulan
3 bulan
15% 4
33.
PHILIPPINES, TH E
6 bulan
3 bulan
3 bulan
6 bulan
183 hari/12 bulan
34.
POLAND
183 hari
183 hari
183 hari
183 hart
120 hari/12 bulan
35.
PORTUGAL
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
183 hari/12 bulan
36.
QATAR
6 bulan
6 Bulan
6 Bulan
6 Bulan
6 bulan/12 bulan
37.
ROMANIA
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
4 bulan/12 bulan
38.
RUSSIA
3 bulan
3 bulan
3 bulan
3 bulan
Tidak ada 5
39.
SAUDI ARABIA "
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
40.
SEYCHELLES
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
3 bulan/12 bulan
41.
SINGAPORE
183 hari
183 hari
183 hari
6 bulan
90 hari/12 bulan
42.
SLOVAK
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
91 hari/12 bulan
43.
SOUTH AFRICA
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
120 hari/12 bulan
44.
SPAIN
183 hari
183 hari
183 hari
183 hari
3 bulan/12 bulan
45.
SRI LANKA
90 hari
90 hari
90 narl
90 hari
90 hari/12 bulan
46.
SUDAN
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
3 bulan/12 bulan
47.
SWEDEN
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
3 bulan/12 bulan
46.
SWITZERLAND
183 hari
183 hari
183 hari
183 hari
5% 6
49.
SYRIA
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
183 hari/12 bulan
50.
TAIWAN
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
120 hari/12 bulan
51.
TH AILAND
6 bulan
8 bulan
6 bulan
6 bulan
183 hari
52.
TUNISIA
3 bulan
3 bulan
3 bulan
3 bulan
3 bulan/12 bulan
53.
TURKEY
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
183 hari/12 bulan
54.
U.A.E
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
55.
UKRAINE
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
4 bulan/12 bulan
56.
UNITED KINGDOM
183 hari
183 hari
183 hari
183 hari
91 hari/12 bulan
57.
UNITED STATES
120 hari
120 hari
120 hari
120 hari
120 haril12 bulan
58.
UZBEKISTAN
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
3 bulan/12 bulan
59.
VENEZUELA
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
10%7
60.
VIETNAM
6 bulan
6 bulan
6 bula n
6 bulan
3 bulan/12 bulan


  • jasa lainnya dalam P3B RI-Jerman dikenakan pajak 7,5% dari fee untuk jasa-jasa teknik (Pasal 12 P3B RI-Jerman)
  • meliputi jasa konsultasi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 5 P3B RI-Jepang
  • jasa lainnya dalam P3B RI-Pakistan dikenakan pajak 10% dari fee untuk jasa-jasa teknik (Pasal 12 P3B RI-Luxembourg)
  • jasa lainnya dalam P3B RI-Pakistan dikenakan pajak 15% dari fee untuk jasa-jasa teknik, meliputi jasa manajerial, jasa teknis maupun jasa konsultasi (Pasal 13 P3B RI-Pakistan)
  • untuk menentukan timbulnya BUT tidak diperlukan time test
  • pajak atas jasa-jasa konsultasi dan lainnya dalam P3B RI-Swiss dikenakan pajak 5% dari jumlah pembayaran bruto (Pasal 13 P3B RI-Swiss)
  • dalam hal fee atas bantuan teknis meliputi pemberian segala macam jasa termasuk jasa konsultasi, jasa manajerial dan jasa teknis yang berkaitan dengan pengetahuan teknik, pengalaman, ketrampilan, metode atau proses,namun tidak termasuk pembayaran atas jasa-jasa profesional sebagaimana dimaksud, dalam Pasal 15 P3B RI-Venezuela dikenakan pajak 10% dari jumlah bruto pembayaran (Pasal 12 P3B RI-Venezuela)

Ada juga tax treaty yang mengatur time test untuk Exploration. Negara yang menyebutkan time test untuk Pengeboran Lepas Pantai (Drilling Rig or Working Ship) adalah Amerika, Australia, Kroasia (120 hari); Hong Kong (183 hari); Sri Lanka (90 hari); dan Cina (6 bulan).



Tiga: Tipe agen
Tidak semua agen merupakan Permanent Establishment. Agen dibagi dua yaitu agen bebas dan agen tidak bebas. Nah, agen yang manjadi Permanent Establishment adalah agen tidak bebas. Bahwa orang atau badan dapat ditetapkan sebagai Permanent Establishment jika melakukan aktivitas melalui agen tidak bebas.

Agen tidak bebas dapat berupa orang pribadi atau badan menjadi Permanent Establishment dengan syarat :

  1. Bergantung pada perusahaan yang diwakilinya. Artinya selalu mengikuti petunjuk dan intruksi perusahaan yang diwakilinya.
  2. Mempunyai kuasa / kewenangan untuk menandatangani kontrak-kontrak atas nama perusahaan tersebut. Kewenangan tersebut bersifat tetap atau berlangsung terus menerus. Salah satu faktor yang menentukan untuk mengetahui sifat tetap atau terus menerus adalah apakah kegiatan tersebut dari awal mulanya dimaksudkan untuk jangka panjang atau hanya sementara. 
  3. Tidak mempunyai kuasa seperti diatas, tetapi ia mempunyai kebiasaan menyimpan persediaan barang-barang atau barang dagangan dan secara teratur menyerahkan barang-barang tersebut atas nama perusahaan yang diwakilinya.

Semua tax treaty mengatur kewenangan untuk menutup kontrak atas nama perusahaan yang diwakilinya. 55 tax treaty mengatur masalah mengelola dan melakukan pengiriman barang dagangan milik perusahaan. Belanda, Inggris, Jepang, Malaysia, Polandia, Suriname hanya menyebutkan ketentuan mengelola barang (tidak menyebutkan melakukan pengiriman barang). Uni Emirat Arab menyebutkan ketentuan mengelola dan menjual barang (tanpa menyebutkan melakukan pengiriman barang).


Empat: Tipe asuransi
Ada perbedaan antara OECD model dengan UN model berkaitan dengan 
Permanent Establishment asuransi. OECD model menyarankan bahwa perusahaan asuransi dianggap memiliki Bentuk Usaha Tetap jika perusahaan asuransi tersebut memenuhi ketentuan ayat (1) atau ayat (5) yaitu melalui agen tidak bebas. Tetapi UN model menyarankan untuk mengatur sendiri tentang batasan Bentuk Usaha Tetap bagi usaha asuransi.

UN model mengatur perusahaan asuransi khusus di Pasal 5 ayat (6). Ayat ini mengatur bahwa perusahaan asuransi, kecuali berkenaan dengan reasuransi, dapat dianggap mempunyai 
Permanent Establishment apabila perusahaan asuransi tersebut mengumpulkan atau menerima premi atau menanggung resiko di negara sumber melalui orang / badan yang bukan agen independent sebagaimana dimaksud ayat (7). Menurut negara-negara berkembang, agen asuransi biasanya tidak memiliki kuasa untuk menutup kontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) huruf a OECD model. Jadi, menurut UN model bagi agen perusahaan asuransi syarat Permanent Establishment adalah agen di negara sumber yang bersangkutan mengumpulkan atau menerima premi dan menanggung resiko yang terletak di negara sumber tersebut.

Ada 44 tax treaty Indonesia dengan negara mitra yang mengatur perusahaan asuransi secara khusus.


Immovable Property

Seluruh tax treaty yang disepakati Indonesia memberikan hak pemajakan atas penghasilan dari immovable property kepada negara di mana immovable property tersebut berada (where the immovable property situated). Khusus perjanjian dengan Kuwait, hak pemajakan di negara di mana immovable property berada, dikurangi 50%.


Shipping and Air Transport (Taxing rights)

Pada prinsipnya, hak pemajakan atas operasi kapal laut dan pesawat di kawasan internasional berada di negara domisili tempat manajemen efektif berada. Namun atas kegiatan pelayaran 17 negara menyebutkan dapat dikenakan di negara sumber dengan ketentuan tertentu yaitu Austria, Bangladesh, Brunei Darussalam, China, Filipina, Hongkong, Hongaria, India, Malaysia, Pakistan, Qatar, Romania, Rusia, Singapura, Sri Lanka, Swiss, dan Thailand.

Pada prinsipnya, hak pemajakan atas operasi kapal laut dan pesawat di kawasan internasional berada di negara domisili tempat manajemen efektif berada. Namun atas kegiatan pelayaran 17 negara menyebutkan dapat dikenakan di negara sumber dengan ketentuan tertentu yaitu Austria, Bangladesh, Brunei Darussalam, China, Filipina, Hongkong, Hongaria, India, Malaysia, Pakistan, Qatar, Romania, Rusia, Singapura, Sri Lanka, Swiss, dan Thailand.

Selain laba atas partisipasi di pool, joint business; agency internasional; 14 negara menyebutkan sumber penghasilan lain yang termasuk dalam pasal ini yaitu laba atas penggunaan, sewa dan perawatan container; serta rental on bare boat basis yaitu Afrika Selatan, Amerika Serikat, India, Kroasia, Maroko, Portugal, Arab Saudi, Slovakia, Syria, Turki, Ukraina, Uni Emirat Arab, dan Uzbekistan.

Sedangkan perjanjian yang mengatur pengecualian atas pengasilan tertentu adalah Australia, Denmark, Malaysia, Meksiko, Korea Selatan, Norwegia, Romania, Swedia, Syria, dan Venezuela.



NO
NEGARA
BRANCH PROFIT TAX
DIVIDEN
BUNGA & ROYALTI
Tarif BPT
Pengecualian untuk perusahaan Kontrak Bagi Hasil (KBH)
DIVIDEN
BUNGA
ROYALTI
PORTFOLIO
PENYERTAAN LANGSUNG
Umum
Khusus
Umum
Khusus
1
Algeria
10%
Tidak ada
15%
15%
15%
-
15%
-
2
Australia
15%
Ya
15%
15%
10%
-
15%
10%
3
Austria
12%
Ya
15%
10%10
10%
-
10%
-
4
Bangladesh
10%
Ya
15%
10%10
10%
-
10%
-
5
Belgium
15%
Tidak
15%
15%
10%
-
10%
-
6
Brunei Darussalam
10%
Ya
15%
15%
15%
-
15%
-
7
Bulgaria
15%
Ya
15%
15%
10%
-
10%
-
8
Canada
15%
Ya
15%
15%
15%
-
15%
-
9
Czech
12,50%
Ya
15%
10%
12,50%
-
12,50%
-
10
China
10%
Tidak ada
10%
10%
10%
-
10%
-
11
Denmark
15%
Ya
20%
10%
10%
-
15%
-
12
Egypt
15%
Ya
15%
15%
15%
-
15%
-
13
Finland
15%
Ya
15%
10%
10%
-
15%
10%
14
France
10%
Tidak
15%
10%
15%
10%
10%
-
15
Germany
10%
Tidak
15%
10%
10%
-
15%
10%
16
Hongkong
5%
ya
10%
5%
10%
-
5%
-
17
Hungary
Tidak ada
Tidak ada
15%
15%
15%
-
15%
-
18
India
10%
Ya
15%
10%
10%
-
15%
-
19
Italy
12%
Ya
15%
10%
10%
-
15%
10%
20
Iran
7%
Tidak ada
7%
7%
10%
-
12%
-
21
Japan
10%
Ya
15%
10%20
10%
-
10%
-
22
Jordan
Tidak ada
Tidak ada
10%
10%
10%
-
10%
-
23
Korea Selatan (Korea, Republic of)
10%
Ya
15%
10%21
10%
-
15%
-
24
Korea Utara (Korea, Democratic People’s Republic of)
10%
Tidak ada
10%
10%
10%
-
10%
-
25
Kroasia
10%
ya
10%
10%
10%
-
10%
-
26
Kuwait
10%
Ya
10%
10%
5%
-
20%
-
27
Luxembourg23
10%
Ya
15%
10%
10%
-
12,50%

28
Malaysia
12.5%
Ya
10%
10%
10%
-
10%
-
29
Maroko
10%
Ya
10%
10%
10%
-
10%
-
30
Mexico
10%
Ya
10%
10%
10%
-
10%
-
31
Mongolia
10%
Ya
10%
10%
10%
-
10%
-
32
Netherlands
9%
Tidak
15%
10%
10%
-
20%
-
-Renegosiasi
9%
Tidak
15%
10%
10%
-
10%
-
-Renegosiasi II [2]
10%
Tidak Ada






33
New Zealand
Tidak ada
Tidak ada
15%
15%
10%
-
15%
-
34
Norway
15%
Ya
15%
15%
10%
-
15%
10%
35
Pakistan
10%
Tidak ada
15%
10%
15%
-
15%
-
36
Philippines, The
20%
Tidak ada
20%
15%
15%
10%
15%
-
37
Poland
10%
Ya
15%
10%
10%
-
15%
-
38
Portugal
10%
Ya
10%
10%
10%
-
10%
-
39
Qatar
10%
Ya
10%
10%
10%
-
5%
-
40
Romania
12,50%
Tidak ada
15%
12,5%28
12,50%
-
12,50%
15%
41
Russia
12,50%
Ya
15%
15%
15%
-
15%
-
42
Saudi Arabia8
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
n/a
n/a
n/a
n/a
43
Seychelles
Tidak ada
Tidak ada
10%
10%
10%
-
10%
-
44
Singapore
15%
Ya
15%
10%
10%
-
15%
-
45
Slovak
10%
Ya
10%
10%
10%
-
15%
10%
46
South Africa
10%
Ya
15%
10%
10%
-
10%
-
47
Spain
10%
Ya
15%
10%
10%
-
10%
-
48
Sri Lanka
sesuai UU domestik
Tidak ada
15%
15%
15%
-
15%
-
49
Sudan
10%
Ya
10%
10%
15%
-
10%
-
50
Sweden
15%
Ya
15%
10%
10%
-
15%
10%
51
Switzerland
10%
Ya
15%
10%
10%
-
10%
-
52
Syria
10%
Ya
10%
10%
10%
-
20%
15%
53
Taiwan
5%
Ya
10%
10%
10%
-
10%
-
54
Thailand34
sesuai UU
Tidak ada
(RI)15%
(RI)    15%
(RI)  15%
10%
10%
15%

domestik

(Thai)25%
(Thai) 15%
(Thai)25%



55
Tunisia
12%
Ya
12%
12%
12%
-
15%
-
56
Turkey
15%
Ya
15%
10%
10%
-
10%
-
57
U.A.E
5%
Tidak
10%
10%
5%
-
5%
-
58
Ukraine
10%
Ya
15%
10%
10%
-
10%
-
59
United Kingdom
10%
Tidak
15%
10%
10%
15%
15%
-
-Renegosiasi
10%
Ya
15%
10%
10%
-
15%
10%
60
United States
15%
Ya
15%
15%
15%
-
15%
10%
-Renegosiasi
10%
Ya
15%
10%
10%
-
10%
-
61
Uzbekistan
10%
Ya
10%
10%
10%
-
10%
-
62
Venezuela
10%
Ya
15%
10%
10%
-
20%
10%
63
Vietnam
10%
Ya
15%
15%
15%
-
15%
-





Jakarta, Oktober 2016
raden agus suparman
raden agus suparman : pajak internasional

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Petunjuk dan Contoh PPh Pasal 21

Kartu NPWP Baru

Mulai Agustus 2015: Objek Pemotongan PPh Pasal 23 Semakin Banyak