Restitusi pendahuluan

Informasi yang saya dengar dari teman-teman fungsional pemeriksa pajak di KPP Pratama, bahwa saat ini KPP Pratama sangat jarang melakukan pemeriksaan khusus. Sebagian besar pekerjaannya hanya untuk memeriksa restitusi. Ini sebenarnya salah satu kelemahan dari UU KUP kita, yaitu Pasal 17 ayat (1) UU KUP :
Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.

Ketentuan ini menyamaratakan Wajib Pajak. Tidak ada klasifikasi Wajib Pajak baik dan Wajib Pajak jahat. Setiap Wajib Pajak yang meminta kelebihan bayar pajak [restitusi] maka menurut ketentuan ini wajib diperiksa dulu. Jika hasil pemeriksaan menyatakan benar telah terjadi kelebihan pembayaran pajak, maka kelebihan pembayaran pajak ini diberikan kepada Wajib Pajak.

Sebenarnya tidak seharusnya semua Wajib Pajak diperiksa. Bagaimanapun, mesti ada yang baik dan ada yang jahat. Alangkah baiknya jika negara "berpikiran positif" terhadap Wajib Pajak. Siapapun yang meminta restitusi, langsung dikabulkan. Nah, tugas para pemeriksa pajak lah untuk mencari mana Wajib Pajak yang tidak jujur. Pemeriksaan dilakukan jika ada indikasi-indikasi tertentu [secara teori auditing berpotensi kecurangan]. Saya kira, cara ini akan lebih efektif.

Tapi dengan UU No. 42 Tahun 2009, sudah ada kemajuan. Setidaknya ada dua catatan saya :

Pertama, restitusi dilakukan hanya pada akhir tahun buku, Pasal 9 ayat (4a). Jika akhir tahun buku Wajib Pajak bulan Desember, maka restitusi hanya bisa dilakukan pada bulan Desember. Kelebihan pajak pada bulan-bulan sebelumnya hanya bisa dilakukan kompensasi, Pasal 9 ayat (4). Pengecualian atau restitusi bisa dilakukan tiap bulan atau tiap masa pajak hanya untuk :
a. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;

b. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai;

c. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang Pajak Pertambahan Nilainya tidak dipungut;

d. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;

e. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Jasa Kena Pajak; dan/atau
Pengusaha Kena Pajak dalam tahap belum berproduksi.

Kedua, untuk Wajib Pajak yang memiliki resiko rendah, maka dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, Pasal 9 ayat (4c). Mungkin ini yang dimaksud di berita tanggal 7 September 2009. Tetapi, pengembalian pendahuluan tetap mengacu ke Pasal 17C ayat (1) UU KUP [perhatikan penyebutan UU KUP di ayat (4c) ini, cukup dengan ".. dan perubahannya"].

Coba kita kutif Pasal 17C ayat (1) UU KUP amandemen 2007 :
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai.


Apakah "kriteria resiko rendah" sebagaimana dimaksud di Pasal 9 ayat (4c) UU No. 42 Tahun 2009 menggantikan "kriteria tertentu" sebagaimana dimaksud Pasal 17C ayat (1) UU No. 27 Tahun 2007???

Kitu tunggu saja peraturan menteri keuangan yang akan mengatur hal ini!

Komentar

FebruanGus mengatakan…
bagaimana cara mengkategorikan resiko, rendah, sedang, atau tinggi?

Kemudian siapa yang harus melakukan analisis resiko, fungsional pemeriksa ataukah account representative (AR)?

http://catatanpajak.blogspot.com
Raden Agus Suparman mengatakan…
Ada prosedur untuk menentukan resiko. Penentuan resiko dilakukan pada waktu pemeriksaan dan dilakukan oleh fungsional pemeriksa pajak.

Postingan populer dari blog ini

Petunjuk dan Contoh PPh Pasal 21

Kartu NPWP Baru