Pasal 13A

Sekitar pertengahan tahun 2007, ada sosialisasi kebijakan Pemeriksaan Bukti Permulaan dan Penyidikan. Walaupun secara DJP dua jenis pekerjaan tersebut tidak asing lagi, tetapi sejak modernisasi DJP maka ada perubahan paradigma.

Sebagai contoh : kabarnya [saya sendiri tidak mengalami] kalau di kantor pusat DJP, khususnya Direktorat P4 waktu itu, bahwa Pemeriksaan Bukti Permulaan itu adalah pemeriksaan yang usulnya berasal dari Subdit Penyidikan. Kalau dari Subdit Pemeriksaan, ya bentuknya pemeriksaan khusus. Selain itu, praktek dilapangan, Pemeriksaan Bukti Permulaan itu seringkali dijadikan “macan ompong” untuk menakut-nakuti Wajib Pajak supaya lebih “takut”. Bahkan tidak sedikit jika Pemeriksaan Bukti Permulaan berasal dari pemeriksaan biasa, tapi karena Wajib Pajak tidak ditemukan, maka ditingkatkan di Pemeriksaan Bukti Permulaan. Hasil dari Pemeriksaan Bukti Permulaan pada waktu itu ya .... sama saja dengan pemeriksaan khusus atau pemeriksaan kriteria seleksi, yaitu surat ketetapan pajak [skp].

Nah, pada waktu sosialisasi dari Direktur Intelijen dan Penyidikan pada waktu itu ditegaskan bahwa Pemeriksaan Bukti Permulaan hanya untuk mencari bukti-bukti awal tindak pidana perpajakan. Jika bukti-bukti awal tidak ditemukan pada saat Pemeriksaan Bukti Permulaan maka harus “case closed” [istilah Pak Direktur waktu itu]. Tidak ada skp! Hasil dari Pemeriksaan Bukti Permulaan itu adalah penyidikan atau "case closed". Kabarnya, ini memang konsep awal di RUU KUP.

Tetapi kemudian pada waktu pembahasan di DPR berkembang wacana bahwa perlua ada suatu sanksi bagi Wajib Pajak yang berfungsi sebagai “warning” supaya Wajib Pajak tidak main-main dengan Surat Pemberitahuan. Kalau sebatas “lampu kuning” maka sanksi yang dijatuhkan bukan sanksi penjara tapi berupa kenaikan.

Kabarnya, semula akan ada Pasal 38A. Seperti yang kita ketahui, sanksi Pasal 38 dan Pasal 39 adalah kewenangan hakim. Sanksi itu ditetapkan dengan vonis hakim. Untuk menjatuhkan sanksi kenaikan 200%, seorang Wajib Pajak harus diperiksa dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan, penyidikan, dan persidangan di Pengadilan Negeri. Kemudian hakim menjatuhkan vonis dengan kenaikan 200% dari kerugian pada pendapatan negara. Ini tentu terlalu “melelahkan” tetapi hasilnya tidak akan maksimal.

Karena itu kemudian pasal itu ditarik ke “kawasan” surat ketetapan pajak yaitu di Pasal 13. Artinya, walaupun Wajib Pajak sudah terbukti melakukan perbuatan pidana pajak tetapi karena perbuatan tersebut baru yang pertama kali maka sanksi yang diberikan cukup dengan sanksi kenaikan 200% oleh DJP sendiri. Tidak perlu sampai penyidikan dan persidangan di Pengadilan Negeri.

Maka jadilah Pasal 13A UU KUP. Inilah bunyi lengkapnya :
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan tersebut pertama kali dilakukan oleh Wajib Pajak dan Wajib Pajak tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar yang ditetapkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.

Kalau kita cermati kata-kata "alpa" dan "kerugian pada pendapatan negera" merupakan bahasa hukum. Perhatikan kata-kata yang digunakan di Pasal 13 UU KUP yang menggunakan istilah "tidak atau kurang bayar" bukan "kerugian pada pendapatan negara"!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Petunjuk dan Contoh PPh Pasal 21

Kartu NPWP Baru