PPh Pasal 22 Pedagang Pengumpul

Direktur Jenderal Pajak telah mengubah tarif PPh Pasal 22 yang dipungut oleh para eksportir dari para pedagang pengumpul dari yang semula 0,5% menjadi hanya 0,25%. Bagaimana sebenarnya PPh Pasal 22 atas penghasilan pedagang pengumpul itu?

Kewenangan pertama berasal dari Pasal 22 ayat (1) UU PPh 1984 [amandemen 1994]
Menteri Keuangan dapat menetapkan bendaharawan pemerintah untuk memungut pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari Wajib Pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.


Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang tersebut [baca : "badan-badan tertentu untuk memungut pajak”] kemudian di dibuatkan Keputusan Menteri Keuangan [KMK] No. 392/KMK.03/2001. Sebenarnya KMK ini merupakan perubahan KMK No. 254/KMK.03/2001 tetapi di KMK ini dan sebelumnya, eksportir belum ditetapkan sebagai pemungut. Praktis, eksportir tertentu sebagai pemungut dimulai sejak tahun Juli 2001 dengan ditetapkannya Pasal I angka 2 Keputusan Menteri Keuangan No. 392/KMK.03/2001 yang berbunyi :
Menambah ketentuan baru dalam Pasal 1 yaitu butir 7 yang berbunyi sebagai berikut:
"7. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul".


Tetapi Keputusan Menteri Keuangan No. 392/KMK.03/2001 ini tidak menyebutkan besaran tarif PPh Pasal 22. Kewenangan menentukan tarif kemudian didelegasikan kepada Direktur Jenderal Pajak. Berdasarkan kewenangan yang diberikan Pasal I angka 3 Tetapi Keputusan Menteri Keuangan No. 392/KMK.03/2001 kemudian Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP- 523/PJ./2001 dan menetapkan tarif PPh Pasal 22 atas penghasilan pedagang pengumpul sebesar 1,5%. Berikut bunyi Pasal 2 Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP- 523/PJ./2001 :
Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 22 yang wajib dipungut atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh pemungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) sebesar 1,5 % (satu koma lima persen) dari harga pembelian.


Besaran tarif ini kemudian dirubah lagi dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP - 25/PJ/2003 menjadi 0,5% saja. Keputusan Direktur Jenderal Pajak [Kepdirjen] ini khusus hanya mengubah tarif dan berlaku surut sejak 2 Januari 2003 [ditetapkan 31 Januari 2003].

Sejak 12 Maret 2009, besaran tarif ini kemudian dirubah kembali menjadi 0,25% berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-23/PJ./2009. Objek PPh Pasal 22 ini adalah penghasilan pedagang pengumpul. Sedangkan pemungut PPh Pasal 22 ini adalah industri dan ekportir di sektor Perhutanan, Perkebunan, Pertanian, dan Perikanan.

Prakteknya, Wajib Pajak industri atau eksporti di sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan diwajibkan memungut PPh Pasal 22 atas pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul. Tentu saja, industri atau eksportir tersebut tidak diwajibkan memungut PPh Pasal 22 tersebut jika dia membeli langsung dari petani.

Industri dan eksportir tersebut kemudian wajib membuat Bukti Pungut atas pemungutan tersebut dan wajib diberikan Bukti Pungut tersebut kepada pedagang pengumpul. Sifat PPh Pasal 22 ini bersifat FINAL. Artinya, atas penghasilan ini kewajiban perpajakan pedagang pengumpul sudah selesai. Tetapi pedagang pengumpul tetap wajib membuat SPT Tahunan. Pada saat membuat SPT Tahunan tersebut, pedagang pengumpul hanya melaporkan rekapitulasi [penjumlahan] dari Bukti Potong dan PPh terutang tidak dihitung ulang. Bukti Potong tersebut wajib dilampirkan di SPT Tahunan dan berfungsi seperti SSP [surat setoran pajak].

Saya pikir, tarif 0,25% adalah tarif pajak yang cukup ringan. Kita contohkan kedalam angka-angka. PT A sebagai eksporti ikan membeli ikan dari pedagang pengumpul sebesar Rp.100.000.000,00. Atas transaksi ini, si eksporti wajib memungut PPh Pasal 22 sebesar Rp. 250.000,00. Sehingga uang yang dibayarkan kepada pedagang pengumpul oleh eksportir menjadi Rp. 99.750.000,00. Seandainya pedagang pengumpul tersebut memiliki laba bersih 5% atau Rp.5.000.000,00 maka laba bersih setelah pajak menjadi Rp.4.750.000,00.

Sejak Januari 2009, berlaku tarif tambahan bagi Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP. Dan di Pasal 22 diatur di Pasal 22 ayat (3) UU PPh 1984. Bunyi lengkap Pasal 22 ayat (3) UU PPh 1984 [amandemen 2008] sebagai berikut :
Besarnya pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak


Artinya, tarif 0,25% ini menjadi 0,5% jika pedagang pengumpul tidak memiliki NPWP. Tentu saja, NPWP ini wajib dicantumkan di Bukti Pungut supaya jelas siapa yang dipungut. Dan pencantuman tersebut akan berkaitan dengan SPT Tahunan, yaitu NPWP di SPT Tahunan harus sama dengan NPWP di Bukti Pungut :-)

Salaam.

Komentar

Anonim mengatakan…
Suatu saat di siang hari, saya berada di rumah. Diruang tamu, saya bertiga dengan saudara saudara saya, Fulan dan Fulanah. Kita sedang duduk duduk di kursi kursi raung tamu.
Fulanah bertanya; “Fer, kamu mau bekerja di perpajakan?”
Saya jawab; “Tidak.”
“Di bank?”
Saya jawab; “Tidak.”
Kemudian Fulan dan Fulanah tertawa.
Si Fulan sambil tertawa mengatakan; ”Masih muda kok milih milih...”
Saya jawab;”Rejeki itu sudah ada yang ngatur.”
-
Tidak lama kemudian saya melihat wajah si Fulan mrengut karena penghasilannya terancam kena pajak sebesar 20%. Segera si Fulan dan isterinya, Fulanah mengurus masalah pajak penghasilannya di instansi perpajakan. Tapi saya heran, sebelum berangkat, kok Fulanah sempat sempatnya bilang;
“Makanya kerja di pajak, enak, yang ndaftar jadi pegawainya banyak..”
Saya jawab; “Cari rejeki harus yang halal, masalah jumlah baru pikirkan kemudian.”
-
Saya berharap, apa yang terjadi pada Fulan, dapat membuat mereka sadar dengan kejahatan sistem perpajakan saat ini. Namun, saya heran bagaimana mungkin Fulanah mengatakan hal itu. Dia menganjurkan saya untuk bekerja di perpajakan sementara pada saat yang sama, penghasilan suaminya sedang terancam oleh sistem perpajakan yang ada.
-
Menjelang sore Fulan dan Fulanah sudah kembali. Namun saya melihat Fulan begitu seriusnya ngurus masalah pajak penghasilannya. Fulan menyiapkan berkas berkas perpajakannya dengan serius. Tak lama kemudian datang tamu, saudari saya, Fulinah. Fulanah menerima kedatangan Fulinah di rumah belakang dan mereka berbincang bincang. Saya datang dan ikut berada di tengah tengah mereka. Seperti yang saya duga, Fulanah memulainya lagi dengan mengatakan;
“Ferry katanya ga’ mau kerja di pajak, di bank juga ga’ mau. Tapi kalo di Bank Syari’ah mau.”
Si tamu, Fulinah bertanya; “Lho.. Feri dapat penggilan kerja di perpajakan ta?
“Ngga’.” Jawab Fulanah.
”Lhoo..Fer..kalo aku dapat penggilan kerja di perpajakan, ya ta’ ambil.” sahut Fulinah.
Kemudian saya jelaskan kenapa saya tidak mau bekerja di perpajakan. Saya menjelaskan bahwa kerja di perpajakan adalah perbuatan jahat dan haram. Memang pada saat itu terjadi selisih pendapat antara saya dan Fulinah. Sementara Fulanah menonton sambil tertawa tawa.
-
Memang saya sadar, sangat mungkin suatu saat saya akan diuji tentang kekonsistenan saya dengan apa yang saya katakan saat itu. Pada saat diuji akan ada dua jalan, ke kiri (buruk) atau kekanan (baik). Dan sangat mungkin pada saat saya menghadapi ujian itu, akan muncul setan setan berwujud manusia yang akan menarik saya ke kiri, dengan menjanjikan kalo kekiri itu lebih banyak alternatif, mudah, dan dapat menghasilkan dalam jumlah yang besar. Pada saat di uji ini, seseorang ingin mengambil jalan ke kanan atau kekiri, tergantung dari kekuatannya akan keyakinan atas janji Allah.
-
Untuk menghadapi setan setan berwujud manusia, ada tiga alternatif:
[1] Mengikuti ajakan mereka,
[2] Tidak mengikuti ajakan mereka dan diam saja terhadap godaan mereka, atau
[3] Tidak mengikuti ajakan mereka sekaligus berdakwah kepada mereka agar mereka mengikuti kita.
-
Sebagai seorang Muslim, berdakwah merupakan konsekwensi dari keimanan kita. Jika kita melihat kemungkaran, maka kita harus mengubahnya sesuai dengan kapasitas kita. Jika kita punya kekuasaan di pemerintahan, kita wajib mengubah kemaksiatan itu dengan menerapkan Hukum Islam. Jika kita tidak mempunyainya kita wajib mengubahnya dengan lisan. Jika tidak mampu kita harus mengubahnya dengan hati, itulah selemah lemahnya iman. Jika melihat kemungkaran di masyarakat dakwahkan saja Islam secara lurus, artinya tidak ditambah dan tidak dikurangi.

” Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” [An-Nahl 16 : 125]
Kang dadank Thea mengatakan…
Sifat pengenaan pajak PPh pasal 22 bagi pedagang pengumpul bersifat tidak final alias bisa dikreditkan oleh pedagang pengumpul. Mohon di check. Trims.

eh, ditunggu postingan teranyarnya pak. Diam-diam saya penggemar bapak lho..
Fadjar Teguh Novianto mengatakan…
sangat berguna sekali postingannya..mantap pak...
Anonim mengatakan…
benar pph pasal 22 bisa dikredtkan di spt tahunan dengan melampirkan bukti potongnya dan ada kemungkinan akan LB pada laporan jadi bisa restitusi tuch
Anonim mengatakan…
saya mau tanya apa relevansi PPh pasal 22 dalam sistem perpajakan? baik buruknya,untung rugi,dan kegunaannya?
Anonim mengatakan…
Sifat pengenaan pajak PPh pasal 22 bagi pedagang pengumpul bersifat tidak final alias bisa dikreditkan oleh pedagang pengumpul.

Cek PMK.154/PMK.03/2010 Pasal 9 ayat(2): Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak, gas dan pelumas kepada:
a. penyalur/agen bersifat final;
b. selain penyalur/agen bersifat tidak final.
Anonim mengatakan…
Bisakah kita melakukan pembetulan atas SPT pph psl 22 seandainya terjadi kesalahan pada alamat dari orang yg dipotong pajaknya. Dan bagaimana pula bila pada awalnya orang yg dipotong pph 22 mengaku tidak memiliki NPWP dan setelah dikenakan tarif 100% lebih tinggi baru mengaku telah lama memiliki NPWP sementara SPT pph 22 dari pemotong pajak sudah dilaporkan ke kantor pajak dgn NPWP orang yg dipotong pajaknya 00.000.000.0-000.000.

Postingan populer dari blog ini

Petunjuk dan Contoh PPh Pasal 21

Kartu NPWP Baru